1. DASAR HUKUM
a.
Undang – Undang
Undang-undang yang
dipergunakan sebagai Pedoman dalam Hukum Tenaga Kerja antara lain:
Ø Undang-Undang
No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Ø Undang-Undang
No. 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE
PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF
CHILD LABOUR (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak)
Ø Undang-Undang
No. 19 TAHUN 1999 Tentang Pengesahan ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE
ABOLITION OF FORCED LABOUR (Konvensi Ilo Mengenai Penghapusan Kerja Paksa)
b.
Peraturan Pemerintah
Ø Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 Tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
c.
Peraturan Presiden
d.
Instruksi Presiden
e.
Keputusan Menteri
Ø Kepmenakertrans : KEP. 355/MEN/X/2009 Tentang Tata Kerja Lembaga Kerjasama (LKS)
Tripartit Nasional
Ø Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama
Ø Kepmenakertrans No.KEP.68/MEN/2004 Tentang Pencegahan
dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.
Ø Kepmenakertrans No. KEP.261/MEN/XI/2004 Tentang
Perusahaan Yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja.
Ø Kepmenakertrans No. KEP.261/MEN/XI/2004 Tentang
Perusahaan Yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja.
Ø Kepmen Tenaga Kerja No. KEP. 172/MEN/2000 Tentang
Penunjukan Pejabat Pemberi Ijin Mempekerjakan TKW Negara Asing Pendatang untuk pekerjaan
yang bersifat sementara atau mendesak.
f.
Peraturan Menteri
Ø Peraturan Menteri No. PER-14/MEN/ IV/2006 Tentang
Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di Perusahaan
g.
Kebiasaan
Kebiasaan
dalam hal ini adalah kebiasaan yang terjadi antara pekerja dan pemberi kerja
yang dilakukan berulang-ulang dan diterima masyarakat (para pihak baik pekerja
maupun pemberi kerja), Contoh : Perkerutan Pegawai tanpa pelatihan terstruktur
(usaha kecil dan menengah)
h.
Yurisprudensi/ Putusan
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang No. 02 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
maka putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht) akan menjadi dasar
hukum bagi hakim untuk memutus perkara serupa.
i.
Traktat/ Perjanjian
Kaitannya
dengan masalah perburuhan, perjanjian yang merupakan sumber hukum tenaga kerja
ialah perjanjian kerja. perjanjian kerja mempunyai sifat kekuatan hukum
mengikat dan berlaku seperti undang-undang pada pihak yang membuatnya.
2. SEJARAH HUKUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
Politik peburuhan setelah kemerdekaan Indonesia 1945 (periode 1945-1965),
hanya dapat dilihat dalam konstitusi tertulis (UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan
Pasal 33 ayat (3). Periode sesudah kemerdekaan, pemerintah Orde Lama (Orla) dan
telah melihat kaum buruh hanya diperuntukkan untuk kepentingan kebutuhan
fisiknya untuk bekerja pada pabrik yang dipergunakan untuk pemakaian untuk
menjalankan. Tidak pernah diperhatikan hak hakikinya yaitu pemberian
kesejahteraan termasuk di dalamnya masalah upah kerja yang diberikan oleh
pengusaha yang terlebih duhulu diproses pemerintah periode Orla.
Sebenarnya penyebab terjadinya gonjang ganjing hukum perburuhan disebabkan
oleh;
1.
Pertama, pengaruh politik hukum perburuhan, karena pemahaman kesepakatan bersama
antara buruh dengan majikan yang melahirkan perjanjian perburuhan baik yang
dilakukan secara individu maupun secara kolektif. Elemen perjanjian kerja harus
jelas dan tegas antara perjanjian kerja hanya waktu tertentu, dan perjanjian
kerja dimana buruh bekerja dibawah kemauan majikan. Asumsi yang terjadi adalah
buruh yang bekerja pada perusahaan hanya bekerja dibawah kemauan memberi kerja
yaitu majikan, sehingga majikanlah yang menentukan upah buruhnya.
2.
Kedua, pemogokan buruh menuntut perbaikan penghasilan (1945-1949) pada periode
ini, dimana masalah perburuhan memang kurang mendapat perhatian, karena pihak
pemerintah pada waktu itu, masih bergulat masalah politik. Pada pemerintahan
RIS (1949-1950), merupakan pergolakan politik yang merobah sistem perburuhan
tentunya juga otomatis perubahan sistem pengaturan buruh. Periode UUDS
(1950-1950) melakukan pemogokan besara-besaran (950.000 buruh didukung oleh
SBSI, KABM, SBPU, SBPI SBKA).
3.
Ketiga, dalam kondisi politik-ekonomi mempengaruhi pendapatan buruh (1950-1965),
sehingga ILO mendesak Indonesia untuk meratifikasi Konvensinya No.98 Tahun 1949
yang kemudian menjadi UU No.18 Tahun 1956 dalam masalah jamian dan perlindungan
kaum buruh. Dengan kembali pemberlakukan UUD 1945 untuk kedua kalinya melalui
Dektri Presiden 5 Juli 1959, masalah perburuhan secara umum dan masalah
pengupahan secara khusus masih belum ada secara konkrit pengupahan buruh untuk
memberikan perlindungan buruh yang datangnya dari pemerintah dan pengusaha.
Bahkan periode ini telah memberikan peluang bagi partai komunis yang
memanfaatkan kondisi buruh sektor pertanian sebagai alat propoganda untuk
memojokkan perjuangan buruh, karena melahirkan "Demokrasi Terpimpin"
termasuk terpimpin mengingat belum profesional kinerja segala bidang sehingga
pengendalian harga melalui komando, dan ancaman-ancaman sanksi dari
perundang-undangan dibuat untuk kepentingan penguasa, misalnya undang-undang
anti subversi, dan mahkamah-khusus untuk kejahatan-kejahatan ekonomi berjalan
sesuai dengan kemauan pemerintah.
a. Masa Orde Lama
Dalam merebut kemerdekaan Indonesia, gerakan buruh memainkan peranan yang
penting. Peran baru dengan keterlibatannya dalam gerakan kemerdekaan nasional,
melalui yang disebut dengan “ Lasykar Buruh, Kaum Buruh, dan Serikat Buruh di
Indonesia”, aktif dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Sumbangan bagi keberhasilan mencapai kemerdekaan pada masa revolusi fisik (
1945-1949 ), menjamin gerakan buruh tempat atau posisi yang baik setelah
Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Hal ini tampak khususnya dalam
pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia. Dengan demikian,
tidaklah mengherankan bahwa pada masa awal kemerdekaan Indonesia ada beberapa
peraturan hukum perburuhan yang bisa disebut progresif atau maju, dalam arti
amat protektif atau melindungi kaum buruh.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Keselamatan di Tempat Kerja
diterbitkan oleh pemerintah sementara di bawah Sjahrir, Undang-undang ini
member sinyal beralihnya kebijakan dasar perburuhan dari negara baru ini, yang
mana sebelumnya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW yang cenderung liberal atau
dipengaruhi perkembangan dasar dengan prinsip seperti “ no work no pay”.
Kemudian menyusul lagi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948 Tentang
Perlindungan Buruh dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan
Perburuhan, undang-undang ini mencakup banyak aspek perlindungan bagi buruh,
seperti larangan diskriminasi di tempat kerja, ketentuan 40 jam kerja dan 6
hari kerja seminggu, kewajiban perusahaan untuk menyediakan fasilitas perumahan,
larangan mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun, termasuk juga menjamin hak
perempuan untuk mengambil cuti haid 2 hari dalam sebulan dan cuti melahirkan 3
bulan. Undang-undang ini bisa dikatakan paling maju di regional Asia pada waktu
itu, yang kemudian menjadi dasar utama kebijakan legislasi hukum perburuhan di
Indonesia yang prospektif.
Pada tahun 1950-an, masih dalam suasana gerakan buruh yang sedang dinamis,
dihasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, disusul Undang-Undang Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta yang memberikan proteksi yang amat kuat kepada para buruh
atau pekerja dengan kewajiban meminta ijin kepada Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (P4) untuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Sebelumnya sudah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian
Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan yang sungguh amat terasa nuansa
demokratis dalam ketentuan pasal-pasalnya, termasuk sebuah Undang-Undang tahun
1956 yang meratifikasi Konvensi ILO N0. 98 Tentang Hak Berorganisasi sekaligus
menjamin lebih jauh lagi memberi serikat buruh status hukum.
b.
Pada Masa Orde Baru
Pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan
kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan Pemerintah
pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya
pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang,
perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Untuk mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum
terutama dalam dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi
belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan
dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya
kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik
awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh.
Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu Pancasila.
Orde Baru diawali oleh peristiwa-peristiwa dramatis, khususnya pembantaian
dan penghancuran elemen PKI tahun 1965, yang mengubah secara permanen
konstelasi kekuatan politik dan berdampak secara mendalam atas nasib organisasi
buruh. Pasca tahun 1965, posisi buruh lebih rendah daripada yang pernah terjadi
dalam sejarah sebelumnya.
Orde Baru memang mewarisi kondisi ekonomi yang porak-poranda. Karena itu,
salah satu tugas utama yang diemban oleh Orde Baru di bawah komando Soeharto
adalah menggerakkan kembali roda ekonomi. Tujuan pertumbuhan ekonomi merupakan
faktor paling penting untuk menjelaskan kebijakan perburuhan Orde Baru.
Rejim Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensif (defensive
modernisation) dimana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol
organisasi buruh untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Disamping pendekatan
ekonomis ini, pertimbangan-pertimbangan politik yang mendasarinya juga
merupakan aspek yang penting dalam kebijakan-kebijakan perburuhan pada masa
Orde Baru.
Agenda utama rejim Orde Baru yang didominasi oleh militer adalah mencegah
kebangkitan kembali gerakan berbasis massa yang cenderung radikal, seperti
gerakan buruh yang terlihat selama Orde Lama. Jadi, motif utama Orde Baru sejak
awal adalah kontrol terhadap semua jenis organisasi yang berbasis massa, entah
partai politik maupun serikat buruh yang dianggap penyebab kerapuhan dan kehancuran
Orde Lama.
Meskipun stabilitas diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, kontrol politik
penguasa terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran
Kiri dari gerakan buruh dan arena politik secara luas. Ciri utama akomodasi
buruh-majikan-negara selama Orde Baru adalah kontrol negara yang sangat kuat
atas organisasi buruh dan pengingkaran terus-menerus kelas buruh sebagai
kekuatan sosial.
Kondisi perburuhan di Indonesia selama Orde Baru dapat dijelaskan dalam
terang model akomodasi di atas. Kontrol negara terhadap serikat buruh
berlangsung terus-menerus dengan dukungan militer. Kontrol itu mengalami
penguatan signifikan sejak dekade 1980 bersamaan dengan berakhirnya era boom
minyak dan pemerintah harus mengarahkan industri ke orientasi ekspor. Peraturan
tentang ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi pada masa ini adalah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 yang kental dengan militerisme.
Pada periode ini, pendekatan militeristik atas bidang perburuhan menjadi
semakin kuat dengan diangkatnya Laksamana Soedomo menjadi Menteri Tenaga Kerja.
Salah satu contoh paling tragis pengendalian buruh yang militeristik adalah
kasus Marsinah yang hingga kini masih menjadi misteri.
Selain sebagai alat kontrol di tangan rejim orde baru untuk meredam gerakan
massa buruh yang kuat, militer juga telah menjadi pelaku utama dalam bisnis
sejak tahun 1958, suatu peran yang hingga saat ini dipertahankannya. James
Castle menilai bahwa hubungan industrial selama 30 tahun di bawah Orde Baru
ditandai oleh kontrol pusat yang otoriter, saling curiga, dan bahkan
kebrutalan.
Seperti yang kita ketahui, Hukum perburuhan adalah perjuangan
politis untuk menegaskan bahwa paham liberalisme dengan doktrin laissez-faire
tidak dapat diterapkan secara mutlak. Dari sini sebenarnya sudah terlihat bahwa
hukum perburuhan senantiasa dalam bahaya intrusi paham liberalisme yang
menganggap hukum perburuhan sebagai intervensi atau diskriminasi yang
melemahkan perekonomian karena melanggar doktrin laissez-faire.
Bahaya intrusi ini semakin besar lagi jika hubungan antara majikan dan
buruh dipahami semata-mata atau terutama merupakan hubungan hukum, jika
pemerintah atau siapapun berpikir bahwa cara terbaik "membina" atau
"mendisplinkan" buruh dan majikan adalah melalui hukum.
Hukum modern mengharuskan struktur, format dan prosedur yang kaku (rigid).
Ia menuntut birokrasi dan cara berpikir yang khas. Dibutuhkan orang dengan
pendidikan khusus untuk mengetahui seluk beluk hukum modern. Hukum menjadi
wilayah esoterik yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang. Para
ahli/sarjana hukum dan pengacara saja yang bisa bermain dengan hukum.
Dalam alam hukum modern, sering terjadi bahwa formalitas dan prosedur dapat
menghilangkan keadilan yang substansial. Hukum perburuhan tidak bisa lepas dari
kepungan logika dasar hukum modern yang formalistik dan individualistik itu.
Untuk itu dapat disimpulkan bahwa pada masa ini Hukum Perburuhan tidak dapat
dengan efektif digunakan karena pada masa ini hukum berada di bawah intervensi
pemerintah yang memerintah secara Diktator.
c.
Masa Reformasi
Sejak berakhirnya masa Orde Baru, peluang untuk lahirnya gerakan buruh
dimulai dengan dibukanya kebebasan berserikat meskipun tetap hanya satu serikat
yang diakui pemerintah. Pada masa ini SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)
melahirkan jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM dengan aksi-aksi menolak
militerisme dan menolak Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997.
Pada masa ini telah dapat dipastikan bahwa LSM memegang peranan penting
dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh . Gerakan LSM
perburuhan ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi akan tetapi
berjaringan dengan aktivis-aktivisnya yang tidak puas terhadap kinerja SPSI.
Dua belas LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi
Pembaruan Hukum Perburuhan) secara sistematis dan substansial melakukan aksi
penolakan Undang-Undang tersebut ditandai dengan keluarnya buku yang berisi
pemikiran para ahli mengenai mengapa Undang-Undang itu harus ditolak.
Dalam pandangan KPHP Undang-Undang tersebut belum memuat hak-hak dasar
buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan bebasan berorganisasi dan
mogok, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 ini juga dilengkapi dengan aksi massa oleh
kelompok-kelompok buruh.
Situasi politik yang rentan, awal krisis ekonomi dan aksi-aksi penolakan
yang konsisten yang menyebabkan kepala-kepala pemerintahan silih berganti dalam
kurun waktu amat pendek mengambil sikap aman dengan penundaan pemberlakuan
Undang-Undang tersebut menunjukkan bahwa penolakan ini sangat berhasil. Dan
selama lima tahun Undang-Undang untuk mengatur perburuhan kembali ke
Undang-Undang lama sebelum akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan.
d.
Masa Sekarang
Perkembangan hukum perburuhan ditandai oleh lahirnya 4 undang-undang yaitu:
ü Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh;
ü Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
ü Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
Hubungan Industrial;
ü Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Pembinaan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negri.
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah
mengubah sistem keserikatburuhan di Indonesia. Dengan diundangkannya UU ini
maka sistem keserikatburuhan di Indonesia berubah dari single union system
menjadi multi union system. Hal ini disebabkan menurut menurut UU No.21/2000,
sekurang-kurangnya 10 orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu
perusahaan. Meskipun sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO No.87 namun UU
No.21/2000 ini mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja melalui
serikat pekerja/serikat buruh, buruh diberikan kesempatan untuk berpartisipasi
dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya. Hal ini menunjukkan
bahwa perkembangan hukum perburuhan yang mengatur keserikatburuhan mempunyai
nilai positif.
UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti UU
No.25/1997 yang sempat diundangkan namun tidak pernah efektif. UU No. 13/ 2003 ini
juga mengandung banyak permasalahan, misalnya masalah inkonsistensi antara
pasal yang satu dengan pasal yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum. Pasal-pasal yang inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut:
Ø Perjanjian Kerja Waktu tertentu: Di satu sisi Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak
mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain pihak,
ada pasal lain dalam UU No.13/2003 ini yang melarang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini
dilanggar, maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut akan berubah secara
otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketidakpastian hukum
dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan karenapihak
pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya dengan perjanjian kerja
waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih memilih perjanjian kerja waktu tidak
tertentu karena lebih menjamin job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk
kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak).
Dalam situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran
itu.
Ø Outsourcin: Sejak diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur.
Hal ini disebabkan pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang
dioutsource adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung
jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja.
Perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh pasal 6 ayat 2 a yang
menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan
buruh yang ditempatkan pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh
yang dioutsource juga merasa diback up oleh pasal 1 butir 15 yang menyatakan
bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa pekerja melainkan dengan
perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan
perintah hanya ada dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan
perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum
bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing pekerja pada saat ini lagi
ngetren. Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk
selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing
pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui pasa; 6 ayat 2 a UU No.13/2003
Pemerintah melagalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk
human-trafficking. Suatu pelanggaran hak asasi manusia.