Kamis, 26 April 2012

KAITAN HUKUM dan DEMOKRASI

Pemikiran tentang negara demokrasi sejalan dengan pemikiran kenegaraan yang juga mengembangkan konsep negara hukum yang terkait dengan gagasan kedaulatan hukum. Istialah yang terkait dengan ini adalah istilah nomokrasi yang berasal dari kata nomos dan cratos. Nomos berarti nilai atau norma yang diandaikan sebagai konsep yang mengakui bahwa yang berkuasa sebenarnya bukanlah orang melainkan hukum itu sendiri. Dalam istilah yang kemudian dikenal dalam Amerika Serikat “ The Rule of Law, not of Man pemerintahan oleh hukum bukan oleh manusia. Artinya pemimpin yang sesungguhnya bukanlah orang namun aturan yang harus menjadi pegangan semua orang yang juga menduduki jabatan kepemimpinan. Inilah hakikat dari negara hukum (Rechtssaat) menurut tradisi Eropa Kontinental.
Namun dalam perkembangan pemikiraan dan praktek mengenai  prinsip Negara hukum ini, diakui pula adanya kelemahan dalam sistemnya. Yaitu bahwa hukum bisa saja dijadikan  alat bagi orang yang berkuasa. Karena itu dalam perkembangan yang mutakhir dikenal pula istilah “democratishe rechtsstaat” yang mempersyaratkan bahwa prinsip negara hukum itu sendiri haruslah dijalankan dengan prosedur demokrasi yang disepakati bersama.
Kedua konsep di atas, baik “constitusional democracy” ataupun “democratishe rechtssaat” sesungguhnya mengidealkan mekanisme yang serupa. Karena itu, keduanya sebenarnya hanya bagian dari dua mata uang yang sama. Disatu pihak negara hukum haruslah demokratis, dan dipihak lain negara demokrasi itu harus didasarkan atas hukum.
Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa adanya ketertiban di dalam pembangunan merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan. Disampiang itu hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke dalam tujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut seyogyanya dilakukan disamping fungsi hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial.
Berdasarkan pendapat di atas, menurut penulis hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk menguba masyarakat dan perubahan itu ditujukan ke arah yang baru, berati hukum harus dibentuk terlebih dahulu dan haus memuat bentuk masyaakat dengan hukum yang akan diubah tersebut. Dengan demikian untuk melakukan perubahan itu maka bentuk masyarakat yang dicita-citakan atau yang diinginkan harus dirumuskan terlebih dahulu seta harus memenuhi unsur-unsur masyarakat yang dikehendaki. Jadi apabila akan membentuk masyarakat pancasila yang adil dan makmur, maka masyarakat pancasila yang adil dan makmur itu dirumuskan terlebih dahulu, dan hukum yang akan diberlakukan itu telah memuat rumusan masyarakat pancasila yang adil dan makmur.
Hukum di dalam masyarakat juga dapat di gunakan sebagai cermin perubahan, berubahnya masyarakat dapat dilihat bagaimana hukum melakukan perubahan terhadapnya. Dengan melihat sejarah bagaimana hukum di Indonesia cita hukum yang diperjuangkan dalam konteks Hukum Indonesia adalah cita Hukum Pancasila. Gerakan reformasi memang berhasil menjathkan rezim orde baru yang ternyata penuh korupsi, kolusi dan nepotisme, maka gema Pancasila pun nyaris lenyap. Hal ini dimungkinkan karena malu memiliki pemerintah yang selalu mendengungkan Pancasila namun pada kenyataannya justru melakukan KKN. Bangsa Indonesia dengan karakater masyarakatnya dalam politik hukumnya tentu harus memiliki konsep sistem hukum yang memiliki kekhasan Bangsa Indonesia dalam politik hukumnya agar sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia menganggap Pancasila sebagai cita hukum.
Sebagai konsekuensi dari supremasi konstitusi dan hierarki perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka perubahan konstitusi mengharuskan adanya perubahan terhadap perundang-undangan dalam sistem hukum tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang.
Bidang-bidang hukum yang memerlukan pemben­tuk­an dan pembaruan tersebut dapat dikelompokkan menurut bidang-bidang yang dibutuhkan, yaitu:
1.          Bidang politik dan pemerintahan.
2.          Bidang ekonomi dan dunia usaha.
3.          Bidang kesejahteraan sosial dan budaya.
4.          Bidang penataan sistem dan aparatur hukum
Perubahan-perubahan tersebut bukan hanya perubahan redaksional, melainkan menyangkut pula perubahan paradigma pemi­kiran yang sangat mendasar. Karena itu, segera setelah agenda constitutional reform (pembaruan konstitusi), kita perlu melanjutkan dengan agenda legal reform (pembentuk­an dan pem­baruan hukum) yang juga besar-besaran. Jika kita mencermati ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 setelah empat kali dirubah, terdapat 22 butir ketentuan yang menyatakan “diantur dengan undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dengan undang-undang”, 11 butir ketentuan yang menyatakan “diatur dalam undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dalam undang-undang”, dan 6 butir ketentuan menyatakan “ditetapkan dengan undang-undang.
Demikian pula halnya dengan perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan meliputi hampir keseluruhan ketentuan yang terdapat di dalamnya, harus diikuti dengan perubahan perundang-undangan yang berada di bawahnya dan pelaksanaannya oleh organ yang berwenang.[1]  
Demokrasi konstitusional ini sering juga disebut dengan demokrasi di bawah rule of law. Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah :
1.         perlindungan konstitusional;
2.         badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3.         pemilihan umum yang bebas;
4.         kebebasan untuk menyatakan pendapat;
5.         kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi; dan
6.         pendidikan kewarganegaraan.
Hal di atas berarti demokratis tidaknya suatu negara, ditentukan oleh tingkat kesempurnaan konstitusi atau aturan-aturan negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Begitu juga dengan tingkat jaminan perundang-undangan yang diberikan terhadap badan kehakiman sehingga tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, berorganisasi dan oposisi.


[1] Hukum dapat dikategorikan menjadi empat kelompok pengertian hukum dilihat dari wilayah pembuatan dan  pembentukan hukum, yaitu Hukum Negara (The State’s Law), Hukum Adat (The People’s Law), Doktrin (The Professor’s Law), dan hukum praktek (The Professional’s Law). Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 4.

Tentang Hukum

PENGERTIAN HUKUM   
 Istilah hukum berasal dari Bahasa Arab yakni HUK'MUN yang artinya menetapkan[1]. Arti hukum dalam bahasa Arab ini mirip dengan pengertian hukum yang dikembangkan oleh kajian dalam teori hukum, ilmu hukum dan sebagian studi-studi sosial mengenai hukum. Hukum sendiri menetapkan tingkah laku mana yang dibolehkan, dilarang atau disuruh untuk dilakukan. Hukum juga dinilai sebagai norma yang mengkualifikasi peristiwa atau kenyataan tertentu menjadi peristiwa atau kenyataan yang memiliki akibat hukum.
Berikut ini pengertian dan definisi hukum menurut beberapa ahli[2]:
1.    Menurut Daliyo, dkk
Hukum pada dasarnya adalah peraturan tingkah laku manusia, yang diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang bersifat memaksa, harus dipatuhi, dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar peraturan tersebut (sanksi itu pasti dan dapat dirasakan nyata bagi yang bersangkutan). Hukum objektif adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama anggota masyarakat. Dari sini berkembang pengertian hubungan hukum, yaitu hubungan antar sesama anggota masyarakat yang diatur oleh hukum, dan subyek hukum, yaitu masing-masing anggota masyarakat yang saling mengadakan hubungan hokum.

2.    Soedkno Mertokusumo
Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi.

3.    Mochtar Kusumaatmadja
Keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam masyarakat”.

4.    Aristoteles
Sesuatu yang berbeda dari sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.

5.    Leon Duguit
Semua aturan tingkah laku para angota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh anggota masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika yang dlanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.

6.    Immanuel Kant
Keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.

7.    Roscoe Pound
Sebagai tata hukum mempunyai pokok bahasan hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan hukum merupakan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya. Adapun hukum sebagai kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif Law as a tool of social engineering.

8.    John Austin
Seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen dimana pihak yang berkuasa memiliki otoritas yang tertinggi.

9.    Soerjono Soekamto
Mempunyai berbagai arti: 1. Hukum dalam arti ilmu (pengetahuan) hukum 2. Hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang kenyataan 3. Hukum dalam arti kadah atau norma 4. Hukum dalam ari tata hukum/hukum positf tertulis 5. Hukum dalam arti keputusan pejabat 6. Hukum dalam arti petugas 7. Hukum dalam arti proses pemerintah 8. Hukum dalam arti perilaku yang teratur atau ajeg 9. Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai

Dari berbagai definisi hukum diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
1)         Peraturan atas kaidah-kaidah tingkah laku manusia
2)         Peraturan diadakan oleh lembaga yang berwenang membuatnya
3)         Peraturan bersifat memaksa
4)         Peraturan mempunyai sanksi yang tegas
Penggolongan Hukum
Adapun penggolongan hukum adalah sebagai berikut:
1.        Berdasarkan Wujudnya:
a)      Tertulis,
b)      Tidak Tertulis,
2.        Berdasarkan Ruang atau wilayah berlakunya:
a)         Lokal,
b)        Hukum Adat
c)         Nasional
d)        Internasional,
3.        Berdasarkan Waktu Yang Diaturnya:
a)      Hukum yang berlaku sekarang ini atau saat ini atau hukum positif.
b)      Hukum yang berlaku pada waktu yang akan datang.
c)      Hukum antarwaktu yaitu hukum yang mengatur suatu peristiwa yang menyangkut hukum yang berlaku saat ini dan hukum berlaku pada masa lalu.
4.        Berdasarkan Pribadi Yang diaturnya:
a)         Hukum satu golongan
b)        Hukum semua golongan
c)         Hukum antar golongan
5.        Berdasarkan Isi Masalah Yang diaturnya:
a)         Hukum Publik
b)        Hukum Privat
6.        Berdasarkan Tugas dan Fungsinya:
a.         Hukum Material
b.         Hukum Formal
Bentuk Hukum
1.    Hukum Publik
Hukum publik mengatur hubungan antara warga negara dengan negara yang menyangkut kepentingan umum. Adapun yang masuk ke dalam golongan hukum publik adalah sebagai berikut:
a.    Hukum Tata Negara
b.   Hukum Administrasi Negara
c.    Hukum Pidana
d.   Hukum Acara/hukum formal
2.    Hukum Perdata (privat)
Perdata sama artinya dengan warga negara, pribadi, sipil, atau privat. Sumber pokok hukum perdata adalah Burgerlijk wetboek (BW) yang dalam arti luas juga mencakup Hukum Dagang dan Hukum Adat. Jadi Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur tentang kepentingan-kepentingan orang perorangan.
Dalam ilmu pengetahuan hukum,hukum perdata dapat dibagi sebagai berikut:
a.    Hukum Perorangan (pribadi)
b.    Hukum Keluarga
c.    Hukum Kekayaan
d.   Hukum Waris
e.    Hukum Dagang dan Hukum Adat
f.     Hukum Islam
Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala yang menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber Hukum dibedakan antara sumber hukum material dan sumber hukum formal.
A.    Sumber Hukum Material adalah keyakinan dan perasaan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi atau materi ( Jiwa )hukum. Isi atau materi hukum dapat bersumber dari nilai agama maupun kesusilaan, kehendak Tuhan.
B.     Sumber Hukum Formal adalah bentuk atau kenyataan yang oleh karenanya kita dapat menemukan hukum yang berlaku. Macam-macam sumber hukum formal yaitu:
a)      Undang-Undang
1)   Undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang isinya mengikat secara umum.
2)   Undang-undang dalam arti formal adalah setiap peraturan yang karena bentuknya dapat disebut Undang-undang.
b)      Kebiasaan (hukum tidak tertulis)
Kebiasaan merupakan semua peraturan yang meskipun tidak diterapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat karena mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum. Agar kebiasaan itu mempunyai kekuatan dan dapat dijadikan sebagai sebagai sumber hukum, maka ditentukan oleh 2 faktor :
1)        Adanya perbuatan yang dilakukan berulang kali dalam hal yang sama yang selalu diikuti dan diterima oleh yang alinnya
2)        Adanya keyakinan hukum dari orang-orang atau golongan yang berkepentingan. Maksudnya adanya keyakinan bahwa kebiasaan itu memuat hal-hal yang baik dan pantas ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat.
c)      Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu terhadap suatu perkara yang tidak diatur oleh undang-undang dan dijadikan pedoman oleh hakim lainnya dalam memutuskan perkara yang serupa.
d)     Traktat
Traktat adalah perjanjian yang dibuat oleh dua negara atau lebih mengenai persoal-soalan tertentu yang menjadi kepentingan negara yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaanya, traktat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)        Traktat bilateral adalah perjanjian yang dibuat oleh dua negara
2)        Traktat multilateral adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh lebih dari dua negara.
e)      Doktrin
Doktrin adalah pendapat para ahli hukum terkemuka yang dijadikan dasar atau asas-asas penting dalam hukum dan penerapannya,
Pembentukan dan Pembaharuan Hukum
Negara kita sudah berhasil melakukan constitutional reform secara besar-besaran. Jika UUD 1945 yang hanya mencakup 71 butir ketentuan di dalamnya, maka setelah empat kali mengalami perubahan, UUD 1945 sekarang berisi 199 butir ketentuan. Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR[3] dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang diubah, arah Perubahan Pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[4]
Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945. Perubahan Kedua ini meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.[5]
Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945. Materi Perubahan Ketiga UUD 1945 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.[6]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat tersebut meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.[7]
Penegakan Hukum
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me­lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng­keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu­tion). Bah­kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat­an pe­ne­gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di­mak­sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma­tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se­gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be­nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti­nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me­nyang­kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe­nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang­an, khu­susnya yang lebih sempit lagi melalui proses per­adil­an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke­jak­saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per­adilan.
Para pe­ne­gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso­alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja­bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga­nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca­mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti­tusio­na­lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio­na­lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi)[8], (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) konsultan hukum, (iv) advokat, (v) notaris, (vi) pejabat pembuat akta tanah, (vii) polisi, (viii) jaksa, (ix) panitera, (x) hakim, dan (xi) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na­sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen­didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.



[2] Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum. PT. Gunung Agung, Jakarta. 2002, hal 20-30
[3] Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
[4] Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.
[5] Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
[6] Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001.
[7] Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
[8]Untuk sementara ini, para politisi sebagai legislator di lembaga perwa­kilan memang belum dapat dikategorikan sebagai profesi yang tersendiri. Akan tetapi, di lingkungan sistem politik yang sudah mapan dan peran-peran profesional telah terbagi sangat ketat, jabatan sebagai anggota parlemen juga dapat berkembang makin lama makin profesional. Politisi lama kelamaan menjadi profesi karena menjadi pilihan hidup profesional dalam masyarakat.