Kamis, 26 April 2012

PERKAWINAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Politik hukum di Negara Republik Indonesia yang menhendaki berkembangnya kehidupan beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah berusaha mamasukkan ajaran agama dalam pembihaan tata hukum nasional. Untuk itu, tidak heran jika hukum islam merupakan suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia disamping hukum yang lain, yakni hukum adat dan hukum barat. Jadi, tidak pada tempatnya jika umat Islam masih ada yang mempermasalahkan atau bahkan menolak peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan secara resmi oleh negara melalui pemerintah. Untuk menjamin pelaksanaan hukum Islam dalam sistem hukun nasional, keterlibatan dan dukungan dari pemerintah/negara merupakan suatu keharusan

Negara telah menjamin kehidupan beragama dan telah ikut serta mengamankannya melaui aturan perundang-undangan, bahkan banyak pruduk hukum yang mengacu pada materi hukum Islam normatif seperti dalam banyak aturan dan ketentuan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencerminkan penghargaan dan kepedulian pemerintah terhadap sendi-sendi ajaran agama, khususnya agama Islam. Apa yang telah dikenal selama ini dalam Hukum Islam (law in the books) yang terdapat didalam al-Qur’an dan Hadist serta kitab-kitab fikih, tidak akan ada apa-apanya, tidak akan ada pengaruh dan kekuatannya tanpa diupayakan menjadi hukum tarapan yang dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, akan menjadi produk hukum yang memiliki daya paksa yang kuat untuk dilaksanakan oleh warga masyarakat, dan jadilah sebagai hukum yang biasa disebut sebagai law in action. Jadi sangat beralasan ketika seluruh Umat Islam di Indonesia untuk mengapresiasi dan mendukung segala upaya yang di tempuh oleh negara dalam mengangkat eksistensi hukum Islam dari law in the books menjadi law in action.

Diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak lepas dari upaya Negara dalam hal ini pemerintah untuk memberikan kepastiah hukum bagi warga negara khususnya yang beragama Islam. Undang-undang ini dibuat untuk mengatur seputar masalah perkawinan dan akibat hukumnya bagi mereka yang beragama Islam. Berdasarkan uraian di atas, maka setiap perkawinan yang dilangsungkan oleh warga negara yang beragama Islam setidaknya harus mengacu dan berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974. Materi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pada dasarnya merupakan kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung dalam al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, dan kitab-kitab fikih klasik maupun fikih kontenporer yangt telah berhasil diangkat oleh sistem hukum nasional dari hukum normatif menjadi hukum tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa kepada rakyat Indonesia, terutama umat muslim.

Perkawinan merupakan hal yang sakral dan diagungkan oleh keluargayang melaksanakannya. Perkawinan merupakan perpaduan instink manusiawiantara laki-laki dan perempuan di mana bukan sekedar memenuhi kebutuhanjasmani melainkan juga untuk pemehuhan kebutuhan lahiriah.Lebih tegasnya perkawinan adalah suatu perkataan untukmenghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, dalamrangka mewujudkan kebahagiaan berkeluarga yang diliputi rasa ketentramanserta kasih sayang dengan cara diridhoi oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT  yang artinya:
"Dan diantara tanda-tanda (Kemaha Besaran)-Nya adalah bahwa diamenciptakan jodoh-jodohmu sendiri agar merasa tenang bersamamereka dan Dia menciptakan rasa cinta kasih diantara kamu.Sesungguhnya di dalam hal itu terdapat tanda-tanda kemaha besaranAllah SWT bagi orang-orang yang mau berfikir”.

Tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia menuju terwujudnya ketenangan, kenyamanan bagi suami-isteri, serta anggota keluarga yang lain. Islam dengan segala kesempurnanya memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan dasar manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan. Di samping itu, perkawinan adalah merupakan sarana yang terbaik untuk mewujudkan rasa kasih sayang sesama manusia dari padanya dapat diharapkan untuk melestarikan proses historis keberadaan manusia dalam kehidupan di dunia ini yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga sebagai unit kecil sebagai dari kehidupan dalam masyarakat.

Perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia tak lepas dari kondisi lingkungan dan budaya dalam membina dan mempertahankan jalinan hubungan antar keluarga suami-isteri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut berakibat terjadinya hambatan-hambatan pada kehidupan keluarga, yang akhirnya dapat menjadi perselisihan dan keretakan dalam hubungan keluarga.
Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang prinsipil, karenanya perkawinan erat kaitannya dengan segala hal akibat perkawinan, baik menyangkut dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan, yang dituangkan dalam Pasal 2, sebagai berikut:
(1)  Perkawinan adalah sah apaila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
(2)  tiap-tiap perkawinan di catat menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan diatas menetapkan dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam melakukan suatu perkawinan. Pada ayat (1) dapat dilihat secara tegas diatur dengan tegas tentang keabsahaan suatu perkawinan, yakni bahwa satu-satunya syarat sahnya suatu perkkawinan adalah bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentuan agama dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan. Ketentuan agana untuk sahnya suatu perkawinan bagi umat islam dimaksud adalah yang berkaitan dengan syarat, yakni suatu yang harus ada sebelum suatu perbuatan hukum dilakukan. Selain itu, harus juga memenuhi rukun, yakni suatu yang harus ada atau dilaksanakan saat suatu perbuatan hukum dilakukan. Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan, bahwa tidak akan ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi orang yang akan melakukannya. Adapun yang dimaksud hukum masing-masing agama dan kepercakayaannya itu termasuk ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi mereka yang memeluk agama atau keyakinan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Al-Qur’an menyerukan bahwa laki-laki dan perempuan tidak dibedabedakan, laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan tanggung jawab dan balasan amal, ada keseimbangan (timbal balik) antara hak dan kewajiban suami dan isteri. Meskipun demikian, ada kesan seruan keseimbangan ini diikuti dengan adanya diskriminasi terhadap perempuan, misalnya disebutkan bahwa suami memiliki kelebihan satu derajat dibanding isteri, dan suami mempunyai status pemimpin. Sedangkan perempuan tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki.  Di dalam melakukan perceraian misalnya, seorang suami mempunyai hak talak sepihak secara mutlak. Artinya, tanpa alasan yang jelaspun seorang suami boleh melakukan poligami tanpa persetujuan isteri, sebab diyakini bahwa berpoligami merupakan hak mutlak suami, sementara isteri tidak boleh melakukan poliandri.

Perkawinan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan larangan-larangan Allah SWT yang termaktub dalam Surat Al Baqarah ayat 221, yaitu  larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya di dalam Surat Al Maidah ayat 5, yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan ahli kitab, seperti Yahudi dan Nasrani, kemudian tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang terdapat dalam Al Quranul Karim
Dalam Surat An Nisaa’ ayat 22 Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu kawini janda-janda ayahmu, kecuali yang sudah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan kelakuan yang paling buruk.”
Selanjutnya dalam Surat An Nisaa’ ayat 23 Allah SWT juga berfirman yang artinya:
“Diharamkan atasmu menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara perempuan dari bapakmu, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan sepersusuan, ibu istrimu, anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, jika kamu belum campur dengan istrimu itu tetapi sudah kamu ceraikan, tidak mengapa kamu menikahinya, istri-istri anak kandungmu, dan mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang sudah terjadi dimasa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang.”

Surat An Nisaa’ ayat 24 :

“Dan yang diharamkan juga kamu mengawini ialah wanita-wanita yang bersuami, kecuali wanita tawanan perang yang kamu miliki. Itula ketetapan hukum Allah atasmu. Dan halalkan untukmu mencari wanita-wanita selain itu dengan hartamu untuk maksud mengawininya bukan untuk maksud perbuatan jahat. Imbalan kesenangan yang kamu peroleh dari wanita itu karena perkawinan, maka bayarlah mas kawinnya menurut jumlah yang sudah ditetapkan. Tetapi tidak mengapa jika telah ada persetujuan sama suka antaramu, menyimpang dari ketentuan itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”

Rukun nikah dalam ilmu fiqh dapat dibagi dalam 6 (enam) macam, yaitu:
a)      Adanya calon suami dengan syarat-syaratnya, yaitu:
1)     Islam.
2)     Tidak di paksa
3)     Bukan mahram calon isteri.
4)     Tidak sedang melaksanakn ibadah haji atau umrah.
b)     Calon Isteri Syarat-syaratnya, yaitu:
1)   Islam.
2)   Bukan mahram calon suami.
3)   Tidak sedang melakan ibadah haji atau umrah.
Nabi SAW. telah memberikan petunjuk sifat-sifat perempuan yang baik, antara lain:
1)   Wanita yang beragama dan menjalankannya.
2)   Wanita yang keturunannya orang yang mempunyai keturunan yang baik.
3)   Wanita yang masih perawan.
c)      Wali Syarat-syaratnya, yaitu:
1)     Islam;
2)     Baligh (dewasa);
3)     Berakal sehat;
4)     Adil (tidak fasik)
5)     Laki-laki; dan
6)     Mempunyai hak untuk menjadi wali.
d)     Dua orang saksi. Syarat-syaratnya, yaitu:
1)     Islam.
2)     Baligh (dewasa)
3)     Berakal sehat.
4)     Adil (tidak fasik)
5)     Laki-laki, dan
6)     Mengerti maksud akad nikah
e)      Ijab Dan Qabul
ijab adalah perkataan dari wali pihak wali perempuan. Sedangkan qabul adalah jawaban laki-laki dalam menerima ucapan wali perempuan. Syarat-syarat ijab dan qabul adalah:
1)     dengan kata nikah atau tazwij atau terjemahan.
2)     Ada persesuaian antara ijab dan qabul.
3)     Berturt-turt, artinya ijab dan qabul itu tidak terselang waktu yang lama.
4)     Tidak memakai syarat yang dapat mengahalangi kelangsungan pernikahan.
f)       Mahar
Mahar atau maskawin ialah pemberian dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan baik berupa uang atau benda-benda yang berharga yang di sebabkan karena pernikahan diantara keduanya. Pemberian mahar merupakan kewajiban bagi laki-laki yang menikahi perempuan. Mahar ini tidak termasuk rukun nikah, sehingga jika pada waktu akan nikah tidak di sebutkan mahar itu, maka akad nikah itu tetap sah. Banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, hanya menurut kekuatan suami serta keridhaan isteri
.



PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT CERAI TALAK
DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Putusnya hubunga pernikahan pada dasarnya diakibatkan oleh adanya perceraian, baik cerai kerena kematian maupun karena cerai hidup melalui 2 cara yakni; cerai talak dan cerai gugat. Perceraian tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Cerai adalah terputusnya hubungan perkawinan antara suami dan isteri.

Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut :
a)   Pasal 113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena :
1) Kematian
2) Perceraian, dan
3) Atas putusan pengadilan.
b)   Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dantidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
c)    Pasal 114 KHI menegaskan, bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.

Sementara itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, antara lain:
a)   Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b)   Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c)    Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d)   Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e)   Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f)    Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g)   Suami melanggar taklik talak.
h)   Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Menurut Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI macam-macam talak adalah sebagai berikut:
a.     Pasal 117 dalam KHI memut:
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 Kompilasi Hukum Islam;
b.    Pasal 118 dalam KHI memuat :
Talak raj’i adalah talak ke satu atau kedua, dalam talak ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.
c.      Pasal 119 dalam KHI memuat :
Talak ba’in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam keadaan iddah. Talak ba’in shughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
1) Talak yang terjadi qabla ad-dukhul.
2) Talak dengan tebusan atau khuluk.
3) Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama.
d.    Pasal 120 dalam KHI menyatakan:
Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.
e.     Pasal 121 dalam KHI memuat :
Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
f.      Pasal 122 dalam KHI memuat :
Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
g.     Pasal 123 dalam KHI memuat :
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
h.     Pasal 124 dalam KHI memuat :
Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116 KHI.

Khusus untuk putusnya perkawinan akibat perceraian biasanya dilakukan dengan dua cara yakni Cerai Talaq dan Cerai Gugat.

1.        Cerai Thalaq

a.      Pengertian

Salah satu bentuk perceraian adalah cerai talak. Talak sendiri dapat dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Talak sendiri dapat dilakkan suami kepada isterinya sebanyak satu, dua, sampai tiga kali. Dalam al-Qur’an, Surat al-Baqarah ayat 229, Allah SWT berfirman yang artinya “talak itu ada dua kali, selanjutnya tahanlah secara baik atau ceraikanlah secara baik”. Dari Firman Allah SWT di atas, dapat disimpulkan  bahwa talaq yang di ucapkan suami kepada isterinya boleh satu, dua, sampai tiga kali. Namun selaku catatan, talaq yang diucapkan untuk ketiga kalinya tidak memungkinka lagi pihak keduanya untuk kembali melakukan rujuk, karena talaq ketiga akan memutus total hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.

Secara harfiyah Thalak itu berarti lepas dan bebas. Dihubungkan dengan kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dengan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas dari ikatan perkawinan yang mereka sebelumnya jalani. Secara terminologi, banyak kalangan ulama yang mengemukakan pengertian talak. Menurut Al-Mahalli dalam kitabnya Minhaj al-Thalibin (Amir Syarifuddin, 2009: hal 198), mengemukakan, bahwa thalaq pada dasarnya adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz thalaq dan sejenisnya.
Rumusan di atas sebenarnya telah mewakili rumusan pengertian thalaq dalam kitab-kitab fiqh. Dalam artian ini, terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat perceraian yang bernama thalaq, yakni:
1.       Pertama; kata “melepaskan” atau membuka atau menanggalkan mengandung arti bahwa thalaq itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat dengan erat yaitu ikatan perkawinan.
2.       Kedua; kata “ikatan perkawinan” mengandun arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan perkawinan yang selama ini terjadi antara pasangan suami dan istri.
3.       Ketiga; kata “dengan lafaz tha-la-qa dan sama maksudnya dengan itu” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui ucapan. Dan ucapan yang digunakan adalah kata-kata thalaq tidak dengan: putus perkawinan bila tidak dengan cara mengucapkan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian.

b.      Hukum Talak
Talak mempunyai beberapa hukum seperti dibawah ini:
1.    Makruh.
2.    Haram, apabila talak di jatuhkan oleh suami terhadap isteri dalam keadaan haidh, atau dalam keadaan suci setelah isteri itu di campuri.
3.    Sunnah, apabila suami sudah tidak mampu lagi menunaikan tugasnya sebagai suami.
4.    Wajib, apabila suami sudah bersumpah dengan mengatakan ia tidak akan menggauli isterinya lagi atau karena perselisihan antara suami isteri.

c.       Macam-Macam Thalaq
Adapun macam-macam thalaq adalah sebaimana yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a.         Thalaq Raj’i
Adalah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk isteri tanpa kehendaknya. Dan talak raj’i ini disyaratkan pada isteri yang telah digauli. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya: “Tidak (yang dibolehkan rujuk) itu hanya dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang patut atau menceraikannya dengan cara yang baik-baik”. (Al-Baqarah :
b.       Thalaq Bain Syughra
Adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 230 yang artinya: “Maka jika (Suami) telah mentalaknya (tiga kali), maka tidak halal baginya untuk kawin kembali sesudah itu, kecuali sesudah perempuan tersebut kawin dengan laki-laki lain”.
Termasuk thalaq Bain Syughra ini ada 3 macam, yaitu sebagai berikut :
1)       Talak yang terjadi qabla didukhul;
adalah talak yang terjadi atas permintaan isteri terhadap pengadilan agama, dan suami telah mencampuri isterinya.
2)       Talak dengan tebusan atau khuluk;
Khuluk menurut bahasa berarti perpisahan isteri dengan imbalan harta. Kata tersebut dari kalimat khala’ats tsauba (melepas baju), karena wanita diibaratkan pakaian laki-laki. Menurut istilah khuluk adalah perceraian antara suami isteri dengan membayar iwad (tebusan) dari pihak isteri, dengan mengembalikan mas kawin yang pernah diterima dari suami atau dengan menebusnya atas kesepakatan kedua belah pihak.
3)       Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atas permintaan isteri, untuk itu lebih jelas pada keterangan berikut :
a)        Fasakh
Adalah jatuh talak karena tuntutan isteri kepada hakim  (Pengadilan Agama) agar dijatuhkan cerai oleh hakim, baik sebab kepergian maupun karena melanggar takliq talak, atau karena masuk penjara. Di dalam buku nikah di Indonesia pada takliq talak dijelaskan bahwa seorang wanita (isteri) boleh meminta fasakh (minta supaya diceraikan) oleh pengadilan Agama apabila suami sewaktu-waktu :
1)   Meninggalkan isteri selama dua tahun berturut-turut.
2)   Tidak memberi nafkah wajib kepada isteri selama tiga bulan berturut-turut.
3)   Menyakiti badan atau jasmani isteri.
4)   Membiarkan atau tidak pedulikan isteri selama enam bulan berturut-turut.
Demikian agama Islam memberikan hak fasakh kepada seorang wanita, jika dia tidak ridha karena :
1)   Membawa madarat baginya dengan perpisahan itu.
2)   Akan menjerumuskan dirinya kepada yang diharamkan Allah (antara lain berbuat serong).
3)   Merasa tergantung, terkatung-katung karena disia-siakan oleh suami.
b)        Syiqaq
Adalah perceraian terjadi karena keretakan antara suami isteri. Sedangkan perceraian itu diputuskan oleh hakim (Pengadilan Agama), setelah berusaha mencari perdamaian (islah) antara kedua belah pihak (isteri dan suami) melalui utusan masing-masing. Namun demikian, perdamaian itupun tidak kemungkinan diperdapat lagi. Sebab-sebab terjadi Syiqaq antara lain sebagai berikut :
1)   Antara suami isteri mempunyai watak, sehingga tidak dapat dipertemukan, dan masing-masing mempertahankan wataknya dan tidak mau mengalah.
2)   Disebabkan oleh suami, misanya perlakuan suami yang amat sewenang-wenang terhadap isteri, hingga amat berat bagi isteri untuk dapat bertahan sebagai isteri.
d.      Bilangan Talak
Bilangan talak ada tiga macam, yaitu: Talak Satu, talak dua, dan talak tiga. Talak satu dan talak dua di sebut dengan talak pas’i, yaitu talak yang terjadi antara suami dan isteri dan boleh rujuk ketika dalam masa iddah. Adapun talak tiga yang terjadi antara suami dan isteri, maka tidak boleh mengadakan rujuk di antara keduanya pada masa iddah. Jika keduanya ingin kembali bersatu maka harus di lakukan dengan akad nikah yang baru dan telah di selang orang lain.
Talak tiga meliputi tiga cara, sebagai berikut:
1)   Suami menjatuhkan talak sebanyak tiga kali pada waktu yang berbeda-beda.
2)   Seorang suami menthlaq isterinya dengan talak satu, setelah habis masa iddahnya isteri itu di nikahi kembali lagi, kemudian di talak lagi.
3)   Talak tiga dengan cara suami mengatakan talak kepada isterinya dengan talak tiga pada sati waktu.
Kalimat yang di pakai dalam talak ada dua macam, yaitu:
1)   Sharih (terang) yaitu kalimat yang tidak di ragukan lagi bahasa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan.
2)   Kinayah (sindiran) yaitu kalimat yang masih ragu-ragu boleh dikaitkan untuk perceraian nikh atau yang lainnya. Kalimat sindiran ini tergantung pada niatnya, artinya kalau tidak di niatkan untuk perceraian mak tidaklah jatuh talak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar