Politik hukum di
Negara Republik Indonesia yang menhendaki berkembangnya kehidupan beragama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah berusaha mamasukkan ajaran agama dalam
pembihaan tata hukum nasional. Untuk itu, tidak heran jika hukum islam
merupakan suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia disamping hukum yang
lain, yakni hukum adat dan hukum barat. Jadi, tidak pada tempatnya jika umat
Islam masih ada yang mempermasalahkan atau bahkan menolak peraturan perundang-undangan
yang telah ditetapkan secara resmi oleh negara melalui pemerintah. Untuk menjamin
pelaksanaan hukum Islam dalam sistem hukun nasional, keterlibatan dan dukungan
dari pemerintah/negara merupakan suatu keharusan
Negara telah
menjamin kehidupan beragama dan telah ikut serta mengamankannya melaui aturan
perundang-undangan, bahkan banyak pruduk hukum yang mengacu pada materi hukum
Islam normatif seperti dalam banyak aturan dan ketentuan pada Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencerminkan penghargaan dan kepedulian
pemerintah terhadap sendi-sendi ajaran agama, khususnya agama Islam. Apa yang
telah dikenal selama ini dalam Hukum Islam (law
in the books) yang terdapat didalam al-Qur’an dan Hadist serta kitab-kitab
fikih, tidak akan ada apa-apanya, tidak akan ada pengaruh dan kekuatannya tanpa
diupayakan menjadi hukum tarapan yang dituangkan kedalam peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, akan menjadi produk hukum yang memiliki daya
paksa yang kuat untuk dilaksanakan oleh warga masyarakat, dan jadilah sebagai
hukum yang biasa disebut sebagai law in
action. Jadi sangat beralasan ketika seluruh Umat Islam di Indonesia untuk
mengapresiasi dan mendukung segala upaya yang di tempuh oleh negara dalam
mengangkat eksistensi hukum Islam dari law
in the books menjadi law in action.
Diundangkannya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak lepas dari upaya Negara
dalam hal ini pemerintah untuk memberikan kepastiah hukum bagi warga negara
khususnya yang beragama Islam. Undang-undang ini dibuat untuk mengatur seputar
masalah perkawinan dan akibat hukumnya bagi mereka yang beragama Islam. Berdasarkan
uraian di atas, maka setiap perkawinan yang dilangsungkan oleh warga negara
yang beragama Islam setidaknya harus mengacu dan berpedoman pada ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974. Materi Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 pada dasarnya merupakan kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung
dalam al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, dan kitab-kitab fikih klasik maupun fikih
kontenporer yangt telah berhasil diangkat oleh sistem hukum nasional dari hukum
normatif menjadi hukum tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
kepada rakyat Indonesia, terutama umat muslim.
Perkawinan merupakan hal yang sakral dan diagungkan oleh keluargayang
melaksanakannya. Perkawinan merupakan perpaduan instink manusiawiantara
laki-laki dan perempuan di mana bukan sekedar memenuhi kebutuhanjasmani
melainkan juga untuk pemehuhan kebutuhan lahiriah.Lebih tegasnya perkawinan
adalah suatu perkataan untukmenghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan, dalamrangka mewujudkan kebahagiaan berkeluarga yang diliputi rasa
ketentramanserta kasih sayang dengan cara diridhoi oleh Allah SWT. Sebagaimana
firman Allah SWT yang artinya:
"Dan diantara tanda-tanda (Kemaha Besaran)-Nya adalah bahwa
diamenciptakan jodoh-jodohmu sendiri agar merasa tenang bersamamereka dan Dia
menciptakan rasa cinta kasih diantara kamu.Sesungguhnya di dalam hal itu
terdapat tanda-tanda kemaha besaranAllah SWT bagi orang-orang yang mau berfikir”.
Tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang
harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia menuju terwujudnya ketenangan,
kenyamanan bagi suami-isteri, serta anggota keluarga yang lain. Islam dengan
segala kesempurnanya memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam
kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan dasar
manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci antara
laki-laki dan perempuan. Di samping itu, perkawinan adalah merupakan sarana
yang terbaik untuk mewujudkan rasa kasih sayang sesama manusia dari padanya
dapat diharapkan untuk melestarikan proses historis keberadaan manusia dalam
kehidupan di dunia ini yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga sebagai unit
kecil sebagai dari kehidupan dalam masyarakat.
Perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia tak lepas dari kondisi
lingkungan dan budaya dalam membina dan mempertahankan jalinan hubungan antar
keluarga suami-isteri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut berakibat
terjadinya hambatan-hambatan pada kehidupan keluarga, yang akhirnya dapat
menjadi perselisihan dan keretakan dalam hubungan keluarga.
Keabsahan suatu
perkawinan merupakan suatu hal yang prinsipil, karenanya perkawinan erat
kaitannya dengan segala hal akibat perkawinan, baik menyangkut dengan anak
(keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
telah merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan, yang dituangkan dalam
Pasal 2, sebagai berikut:
(1) Perkawinan adalah
sah apaila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu;
(2) tiap-tiap
perkawinan di catat menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan diatas
menetapkan dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam melakukan suatu
perkawinan. Pada ayat (1) dapat dilihat secara tegas diatur dengan tegas
tentang keabsahaan suatu perkawinan, yakni bahwa satu-satunya syarat sahnya
suatu perkkawinan adalah bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentuan agama
dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan. Ketentuan agana untuk sahnya
suatu perkawinan bagi umat islam dimaksud adalah yang berkaitan dengan syarat,
yakni suatu yang harus ada sebelum suatu perbuatan hukum dilakukan. Selain itu,
harus juga memenuhi rukun, yakni suatu yang harus ada atau dilaksanakan saat
suatu perbuatan hukum dilakukan. Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan, bahwa
tidak akan ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan
bagi orang yang akan melakukannya. Adapun yang dimaksud hukum masing-masing
agama dan kepercakayaannya itu termasuk ketentuan-ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi mereka yang memeluk agama atau keyakinan sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Al-Qur’an
menyerukan bahwa laki-laki dan perempuan tidak dibedabedakan, laki-laki dan
perempuan memiliki kesamaan tanggung jawab dan balasan amal, ada keseimbangan
(timbal balik) antara hak dan kewajiban suami dan isteri. Meskipun demikian,
ada kesan seruan keseimbangan ini diikuti dengan adanya diskriminasi terhadap
perempuan, misalnya disebutkan bahwa suami memiliki kelebihan satu derajat
dibanding isteri, dan suami mempunyai status pemimpin. Sedangkan perempuan
tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki
laki-laki. Di dalam melakukan perceraian
misalnya, seorang suami mempunyai hak talak sepihak secara mutlak. Artinya,
tanpa alasan yang jelaspun seorang suami boleh melakukan poligami tanpa persetujuan
isteri, sebab diyakini bahwa berpoligami merupakan hak mutlak suami, sementara
isteri tidak boleh melakukan poliandri.
Perkawinan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan
larangan-larangan Allah SWT yang termaktub dalam Surat Al Baqarah ayat 221,
yaitu larangan perkawinan karena
perbedaan agama dengan pengecualiannya di dalam Surat Al Maidah ayat 5, yaitu
khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan ahli kitab, seperti
Yahudi dan Nasrani, kemudian tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang
terdapat dalam Al Quranul Karim
Dalam Surat An Nisaa’ ayat 22 Allah SWT berfirman, “Dan janganlah
kamu kawini janda-janda ayahmu, kecuali yang sudah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan kelakuan yang paling buruk.”
Selanjutnya dalam Surat An Nisaa’ ayat 23 Allah SWT juga berfirman yang
artinya:
“Diharamkan atasmu
menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara perempuan
dari bapakmu, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudaramu yang perempuan, ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan
sepersusuan, ibu istrimu, anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri, jika kamu belum campur dengan istrimu itu
tetapi sudah kamu ceraikan, tidak mengapa kamu menikahinya, istri-istri
anak kandungmu, dan mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang sudah terjadi dimasa lampau. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan Penyayang.”
Surat An Nisaa’
ayat 24 :
“Dan yang
diharamkan juga kamu mengawini ialah wanita-wanita yang bersuami, kecuali
wanita tawanan perang yang kamu miliki. Itula ketetapan hukum Allah atasmu. Dan
halalkan untukmu mencari wanita-wanita selain itu dengan hartamu untuk maksud
mengawininya bukan untuk maksud perbuatan jahat. Imbalan kesenangan yang kamu
peroleh dari wanita itu karena perkawinan, maka bayarlah mas kawinnya menurut
jumlah yang sudah ditetapkan. Tetapi tidak mengapa jika telah ada persetujuan
sama suka antaramu, menyimpang dari ketentuan itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
Rukun nikah dalam ilmu fiqh dapat dibagi dalam 6 (enam) macam, yaitu:
a)
Adanya calon suami dengan syarat-syaratnya, yaitu:
1)
Islam.
2)
Tidak di paksa
3)
Bukan mahram calon isteri.
4)
Tidak sedang melaksanakn ibadah haji atau umrah.
b) Calon Isteri Syarat-syaratnya,
yaitu:
1)
Islam.
2)
Bukan mahram calon suami.
3)
Tidak sedang melakan ibadah haji atau umrah.
Nabi SAW. telah memberikan petunjuk sifat-sifat perempuan yang baik,
antara lain:
1)
Wanita yang beragama dan menjalankannya.
2)
Wanita yang keturunannya orang yang mempunyai keturunan yang baik.
3)
Wanita yang masih perawan.
c)
Wali Syarat-syaratnya, yaitu:
1)
Islam;
2)
Baligh (dewasa);
3)
Berakal sehat;
4)
Adil (tidak fasik)
5)
Laki-laki; dan
6)
Mempunyai hak untuk menjadi wali.
d) Dua orang saksi. Syarat-syaratnya,
yaitu:
1)
Islam.
2)
Baligh (dewasa)
3)
Berakal sehat.
4)
Adil (tidak fasik)
5)
Laki-laki, dan
6)
Mengerti maksud akad nikah
e)
Ijab Dan Qabul
ijab adalah
perkataan dari wali pihak wali perempuan. Sedangkan qabul adalah jawaban
laki-laki dalam menerima ucapan wali perempuan. Syarat-syarat ijab dan qabul
adalah:
1)
dengan kata nikah atau tazwij atau terjemahan.
2)
Ada persesuaian antara ijab dan qabul.
3)
Berturt-turt, artinya ijab dan qabul itu tidak terselang waktu yang
lama.
4)
Tidak memakai syarat yang dapat mengahalangi kelangsungan pernikahan.
f)
Mahar
Mahar atau maskawin ialah pemberian dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan baik berupa uang atau benda-benda yang berharga yang di sebabkan karena pernikahan diantara keduanya. Pemberian mahar merupakan kewajiban bagi laki-laki yang menikahi perempuan. Mahar ini tidak termasuk rukun nikah, sehingga jika pada waktu akan nikah tidak di sebutkan mahar itu, maka akad nikah itu tetap sah. Banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, hanya menurut kekuatan suami serta keridhaan isteri.
Mahar atau maskawin ialah pemberian dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan baik berupa uang atau benda-benda yang berharga yang di sebabkan karena pernikahan diantara keduanya. Pemberian mahar merupakan kewajiban bagi laki-laki yang menikahi perempuan. Mahar ini tidak termasuk rukun nikah, sehingga jika pada waktu akan nikah tidak di sebutkan mahar itu, maka akad nikah itu tetap sah. Banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, hanya menurut kekuatan suami serta keridhaan isteri.
PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT CERAI TALAK
DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Putusnya hubunga
pernikahan pada dasarnya diakibatkan oleh adanya perceraian, baik cerai kerena
kematian maupun karena cerai hidup melalui 2 cara yakni; cerai talak dan cerai
gugat. Perceraian tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan-alasan kuat
yang mendasarinya. Cerai adalah terputusnya hubungan perkawinan antara suami
dan isteri.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur putusnya hubungan
perkawinan sebagaimana berikut :
a)
Pasal 113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus
karena :
1) Kematian
2) Perceraian, dan
3) Atas putusan pengadilan.
b)
Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974
menyatakan, bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dantidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
c)
Pasal 114
KHI menegaskan, bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.
Sementara itu alasan-alasan
perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974,
antara lain:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g) Suami melanggar taklik talak.
h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Menurut Inpres RI
Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI macam-macam talak adalah sebagai berikut:
a. Pasal 117 dalam KHI memut:
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 Kompilasi Hukum Islam;
b. Pasal 118 dalam KHI memuat :
Talak raj’i adalah talak ke satu atau kedua, dalam
talak ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.
c. Pasal 119 dalam KHI memuat :
Talak ba’in shughra adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam
keadaan iddah. Talak ba’in shughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
1) Talak yang
terjadi qabla ad-dukhul.
2) Talak dengan
tebusan atau khuluk.
3) Talak yang
dijatuhkan oleh pengadilan agama.
d. Pasal 120 dalam KHI menyatakan:
Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk
ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan
kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da ad-dukhul dan habis
masa iddahnya.
e. Pasal 121 dalam KHI memuat :
Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu
talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri
dalam waktu suci tersebut.
f.
Pasal 122 dalam KHI memuat :
Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak
yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan
suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
g. Pasal 123 dalam KHI memuat :
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
h. Pasal 124 dalam KHI memuat :
Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian
sesuai ketentuan pasal 116 KHI.
Khusus untuk
putusnya perkawinan akibat perceraian biasanya dilakukan dengan dua cara yakni
Cerai Talaq dan Cerai Gugat.
1.
Cerai Thalaq
a.
Pengertian
Salah satu bentuk perceraian adalah cerai talak. Talak sendiri dapat
dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Talak sendiri dapat dilakkan
suami kepada isterinya sebanyak satu, dua, sampai tiga kali. Dalam al-Qur’an,
Surat al-Baqarah ayat 229, Allah SWT berfirman yang artinya “talak itu ada dua kali, selanjutnya
tahanlah secara baik atau ceraikanlah secara baik”. Dari Firman Allah SWT
di atas, dapat disimpulkan bahwa talaq
yang di ucapkan suami kepada isterinya boleh satu, dua, sampai tiga kali. Namun
selaku catatan, talaq yang diucapkan untuk ketiga kalinya tidak memungkinka
lagi pihak keduanya untuk kembali melakukan rujuk, karena talaq ketiga akan
memutus total hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan.
Secara
harfiyah Thalak itu berarti lepas dan
bebas. Dihubungkan dengan kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya
perkawinan karena antara suami dengan istri sudah lepas hubungannya atau
masing-masing sudah bebas dari ikatan perkawinan yang mereka sebelumnya jalani.
Secara terminologi, banyak kalangan ulama yang mengemukakan pengertian talak.
Menurut Al-Mahalli dalam kitabnya Minhaj al-Thalibin (Amir Syarifuddin, 2009:
hal 198), mengemukakan, bahwa thalaq
pada dasarnya adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz thalaq dan sejenisnya.
Rumusan
di atas sebenarnya telah mewakili rumusan pengertian thalaq dalam kitab-kitab
fiqh. Dalam artian ini, terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat
perceraian yang bernama thalaq, yakni:
1.
Pertama; kata “melepaskan” atau membuka atau
menanggalkan mengandung arti bahwa thalaq itu melepaskan sesuatu yang selama
ini telah terikat dengan erat yaitu ikatan perkawinan.
2.
Kedua; kata “ikatan perkawinan” mengandun
arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan perkawinan yang selama ini terjadi
antara pasangan suami dan istri.
3.
Ketiga; kata “dengan lafaz tha-la-qa dan sama maksudnya dengan itu”
mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui ucapan. Dan ucapan yang
digunakan adalah kata-kata thalaq tidak dengan: putus perkawinan bila tidak
dengan cara mengucapkan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian.
b.
Hukum Talak
Talak mempunyai
beberapa hukum seperti dibawah ini:
1. Makruh.
2. Haram, apabila
talak di jatuhkan oleh suami terhadap isteri dalam keadaan haidh, atau dalam
keadaan suci setelah isteri itu di campuri.
3. Sunnah, apabila
suami sudah tidak mampu lagi menunaikan tugasnya sebagai suami.
4. Wajib, apabila
suami sudah bersumpah dengan mengatakan ia tidak akan menggauli isterinya lagi
atau karena perselisihan antara suami isteri.
c.
Macam-Macam Thalaq
Adapun macam-macam thalaq adalah sebaimana yang akan dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Thalaq Raj’i
Adalah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk
isteri tanpa kehendaknya. Dan talak raj’i ini disyaratkan pada isteri yang
telah digauli. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya: “Tidak
(yang dibolehkan rujuk) itu hanya dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang patut atau menceraikannya dengan cara yang baik-baik”. (Al-Baqarah
:
b.
Thalaq Bain Syughra
Adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman
dalam surat Al-Baqarah ayat 230 yang artinya: “Maka jika (Suami) telah
mentalaknya (tiga kali), maka tidak halal baginya untuk kawin kembali sesudah
itu, kecuali sesudah perempuan tersebut kawin dengan laki-laki lain”.
Termasuk thalaq
Bain Syughra ini ada 3 macam, yaitu sebagai berikut :
1)
Talak yang terjadi qabla didukhul;
adalah talak yang terjadi atas permintaan isteri
terhadap pengadilan agama, dan suami telah mencampuri isterinya.
2)
Talak dengan tebusan atau khuluk;
Khuluk menurut bahasa berarti perpisahan isteri
dengan imbalan harta. Kata tersebut dari kalimat khala’ats tsauba (melepas
baju), karena wanita diibaratkan pakaian laki-laki. Menurut istilah khuluk
adalah perceraian antara suami isteri dengan membayar iwad (tebusan) dari pihak
isteri, dengan mengembalikan mas kawin yang pernah diterima dari suami atau
dengan menebusnya atas kesepakatan kedua belah pihak.
3)
Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atas
permintaan isteri, untuk itu lebih jelas pada keterangan berikut :
a)
Fasakh
Adalah jatuh talak karena tuntutan isteri kepada
hakim (Pengadilan Agama) agar dijatuhkan
cerai oleh hakim, baik sebab kepergian maupun karena melanggar takliq talak,
atau karena masuk penjara. Di dalam buku nikah di Indonesia pada takliq talak
dijelaskan bahwa seorang wanita (isteri) boleh meminta fasakh (minta supaya
diceraikan) oleh pengadilan Agama apabila suami sewaktu-waktu :
1) Meninggalkan isteri selama dua tahun berturut-turut.
2) Tidak memberi nafkah wajib kepada isteri selama tiga bulan berturut-turut.
3) Menyakiti badan atau jasmani isteri.
4) Membiarkan atau tidak pedulikan isteri selama enam bulan berturut-turut.
Demikian agama Islam memberikan hak fasakh kepada seorang wanita, jika dia
tidak ridha karena :
1) Membawa madarat baginya dengan perpisahan itu.
2) Akan menjerumuskan dirinya kepada yang diharamkan Allah (antara lain
berbuat serong).
3) Merasa tergantung, terkatung-katung karena disia-siakan oleh suami.
b)
Syiqaq
Adalah perceraian terjadi karena keretakan antara
suami isteri. Sedangkan perceraian itu diputuskan oleh hakim (Pengadilan
Agama), setelah berusaha mencari perdamaian (islah) antara kedua belah pihak
(isteri dan suami) melalui utusan masing-masing. Namun demikian, perdamaian
itupun tidak kemungkinan diperdapat lagi. Sebab-sebab terjadi Syiqaq antara
lain sebagai berikut :
1) Antara suami isteri mempunyai watak, sehingga tidak dapat dipertemukan, dan
masing-masing mempertahankan wataknya dan tidak mau mengalah.
2) Disebabkan oleh suami, misanya perlakuan suami yang amat sewenang-wenang
terhadap isteri, hingga amat berat bagi isteri untuk dapat bertahan sebagai
isteri.
d.
Bilangan Talak
Bilangan talak ada
tiga macam, yaitu: Talak Satu, talak dua, dan talak tiga. Talak satu dan talak dua di sebut dengan talak pas’i, yaitu talak
yang terjadi antara suami dan isteri dan boleh rujuk ketika dalam masa iddah.
Adapun talak tiga yang terjadi antara suami dan isteri, maka tidak boleh
mengadakan rujuk di antara keduanya pada masa iddah. Jika keduanya ingin
kembali bersatu maka harus di lakukan dengan akad nikah yang baru dan telah di
selang orang lain.
Talak tiga
meliputi tiga cara, sebagai berikut:
1) Suami menjatuhkan
talak sebanyak tiga kali pada waktu yang berbeda-beda.
2) Seorang suami
menthlaq isterinya dengan talak satu, setelah habis masa iddahnya isteri itu di
nikahi kembali lagi, kemudian di talak lagi.
3) Talak tiga dengan
cara suami mengatakan talak kepada isterinya dengan talak tiga pada sati waktu.
Kalimat yang di
pakai dalam talak ada dua macam, yaitu:
1) Sharih (terang)
yaitu kalimat yang tidak di ragukan lagi bahasa yang dimaksud adalah memutuskan
ikatan perkawinan.
2) Kinayah (sindiran)
yaitu kalimat yang masih ragu-ragu boleh dikaitkan untuk perceraian nikh atau
yang lainnya. Kalimat sindiran ini tergantung pada niatnya, artinya kalau tidak
di niatkan untuk perceraian mak tidaklah jatuh talak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar