Pemikiran
tentang negara demokrasi sejalan dengan pemikiran kenegaraan yang juga mengembangkan konsep negara
hukum yang terkait dengan gagasan kedaulatan hukum. Istialah yang terkait dengan ini adalah
istilah nomokrasi yang berasal dari kata nomos dan cratos. Nomos
berarti nilai atau norma yang diandaikan sebagai konsep yang mengakui bahwa
yang berkuasa sebenarnya bukanlah orang melainkan hukum itu sendiri. Dalam istilah yang kemudian dikenal dalam
Amerika Serikat “ The Rule of Law, not of
Man” pemerintahan oleh hukum bukan oleh
manusia. Artinya pemimpin yang sesungguhnya bukanlah orang namun aturan yang
harus menjadi pegangan semua orang yang juga menduduki jabatan kepemimpinan. Inilah hakikat dari negara hukum (Rechtssaat) menurut tradisi Eropa
Kontinental.
Namun
dalam perkembangan pemikiraan dan praktek mengenai prinsip Negara hukum ini, diakui pula adanya kelemahan dalam
sistemnya. Yaitu bahwa hukum bisa saja dijadikan alat bagi orang yang berkuasa. Karena itu
dalam perkembangan yang mutakhir dikenal pula istilah “democratishe rechtsstaat” yang mempersyaratkan bahwa prinsip
negara hukum itu sendiri haruslah dijalankan dengan prosedur demokrasi yang disepakati
bersama.
Kedua
konsep di atas, baik “constitusional democracy” ataupun “democratishe rechtssaat” sesungguhnya mengidealkan mekanisme yang
serupa. Karena itu, keduanya sebenarnya hanya bagian
dari dua mata uang yang sama. Disatu pihak negara hukum haruslah demokratis,
dan dipihak lain negara demokrasi itu harus didasarkan atas hukum.
Di
Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa adanya ketertiban di dalam
pembangunan merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan.
Disampiang itu hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi sebagai sarana untuk
menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke dalam tujuan yang dikehendaki
oleh perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut seyogyanya
dilakukan disamping fungsi hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial.
Berdasarkan
pendapat di atas, menurut penulis hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk
menguba masyarakat dan perubahan itu ditujukan ke arah yang baru, berati hukum
harus dibentuk terlebih dahulu dan haus memuat bentuk masyaakat dengan hukum
yang akan diubah tersebut. Dengan demikian untuk melakukan perubahan itu maka
bentuk masyarakat yang dicita-citakan atau yang diinginkan harus dirumuskan
terlebih dahulu seta harus memenuhi unsur-unsur masyarakat yang dikehendaki.
Jadi apabila akan membentuk masyarakat pancasila yang adil dan makmur, maka
masyarakat pancasila yang adil dan makmur itu dirumuskan terlebih dahulu, dan hukum
yang akan diberlakukan itu telah memuat rumusan masyarakat pancasila yang adil
dan makmur.
Hukum
di dalam masyarakat juga dapat di gunakan sebagai cermin perubahan, berubahnya
masyarakat dapat dilihat bagaimana hukum melakukan perubahan terhadapnya.
Dengan melihat sejarah bagaimana hukum di Indonesia cita hukum yang
diperjuangkan dalam konteks Hukum Indonesia adalah cita Hukum Pancasila.
Gerakan reformasi memang berhasil menjathkan rezim orde baru yang ternyata penuh
korupsi, kolusi dan nepotisme, maka gema Pancasila pun nyaris lenyap. Hal ini
dimungkinkan karena malu memiliki pemerintah yang selalu mendengungkan
Pancasila namun pada kenyataannya justru melakukan KKN. Bangsa Indonesia dengan karakater
masyarakatnya dalam politik hukumnya tentu harus memiliki konsep sistem hukum
yang memiliki kekhasan Bangsa Indonesia dalam politik hukumnya agar sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia menganggap
Pancasila sebagai cita hukum.
Sebagai konsekuensi dari supremasi
konstitusi dan hierarki perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka
perubahan konstitusi mengharuskan adanya perubahan terhadap perundang-undangan
dalam sistem hukum tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang.
Bidang-bidang hukum yang memerlukan pembentukan dan pembaruan tersebut
dapat dikelompokkan menurut bidang-bidang yang dibutuhkan, yaitu:
1.
Bidang politik
dan pemerintahan.
2.
Bidang ekonomi
dan dunia usaha.
3.
Bidang
kesejahteraan sosial dan budaya.
4.
Bidang penataan
sistem dan aparatur hukum
Perubahan-perubahan
tersebut bukan hanya perubahan redaksional, melainkan menyangkut pula perubahan
paradigma pemikiran yang sangat mendasar. Karena itu, segera setelah agenda constitutional reform (pembaruan konstitusi),
kita perlu melanjutkan dengan agenda legal reform (pembentukan dan pembaruan
hukum) yang juga besar-besaran. Jika kita mencermati ketentuan-ketentuan dalam
UUD 1945 setelah empat kali dirubah, terdapat 22 butir ketentuan yang
menyatakan “diantur dengan undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dengan
undang-undang”, 11 butir ketentuan yang menyatakan “diatur dalam undang-undang”
atau “diatur lebih lanjut dalam
undang-undang”, dan 6 butir ketentuan menyatakan “ditetapkan dengan
undang-undang.
Demikian pula halnya dengan perubahan
UUD 1945 yang cukup mendasar dan meliputi hampir keseluruhan ketentuan yang
terdapat di dalamnya, harus diikuti dengan perubahan perundang-undangan yang
berada di bawahnya dan pelaksanaannya oleh organ yang berwenang.[1]
Demokrasi konstitusional ini sering juga
disebut dengan demokrasi di bawah rule of law. Syarat-syarat dasar untuk
terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah
:
1.
perlindungan
konstitusional;
2.
badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3.
pemilihan
umum yang bebas;
4.
kebebasan untuk
menyatakan pendapat;
5.
kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi; dan
6.
pendidikan kewarganegaraan.
Hal di atas berarti demokratis tidaknya
suatu negara, ditentukan oleh tingkat kesempurnaan konstitusi atau
aturan-aturan negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya.
Begitu juga dengan tingkat jaminan perundang-undangan yang diberikan terhadap
badan kehakiman sehingga tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan
untuk menyatakan pendapat, kebebasan
berserikat, berorganisasi dan oposisi.
[1] Hukum dapat
dikategorikan menjadi empat kelompok pengertian hukum dilihat dari wilayah
pembuatan dan pembentukan hukum, yaitu
Hukum Negara (The State’s Law), Hukum
Adat (The People’s Law), Doktrin (The Professor’s Law), dan hukum praktek
(The Professional’s Law). Lihat Jimly
Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta;
Konstitusi Press, 2005), hal. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar