Kamis, 26 April 2012

KAITAN HUKUM dan DEMOKRASI

Pemikiran tentang negara demokrasi sejalan dengan pemikiran kenegaraan yang juga mengembangkan konsep negara hukum yang terkait dengan gagasan kedaulatan hukum. Istialah yang terkait dengan ini adalah istilah nomokrasi yang berasal dari kata nomos dan cratos. Nomos berarti nilai atau norma yang diandaikan sebagai konsep yang mengakui bahwa yang berkuasa sebenarnya bukanlah orang melainkan hukum itu sendiri. Dalam istilah yang kemudian dikenal dalam Amerika Serikat “ The Rule of Law, not of Man pemerintahan oleh hukum bukan oleh manusia. Artinya pemimpin yang sesungguhnya bukanlah orang namun aturan yang harus menjadi pegangan semua orang yang juga menduduki jabatan kepemimpinan. Inilah hakikat dari negara hukum (Rechtssaat) menurut tradisi Eropa Kontinental.
Namun dalam perkembangan pemikiraan dan praktek mengenai  prinsip Negara hukum ini, diakui pula adanya kelemahan dalam sistemnya. Yaitu bahwa hukum bisa saja dijadikan  alat bagi orang yang berkuasa. Karena itu dalam perkembangan yang mutakhir dikenal pula istilah “democratishe rechtsstaat” yang mempersyaratkan bahwa prinsip negara hukum itu sendiri haruslah dijalankan dengan prosedur demokrasi yang disepakati bersama.
Kedua konsep di atas, baik “constitusional democracy” ataupun “democratishe rechtssaat” sesungguhnya mengidealkan mekanisme yang serupa. Karena itu, keduanya sebenarnya hanya bagian dari dua mata uang yang sama. Disatu pihak negara hukum haruslah demokratis, dan dipihak lain negara demokrasi itu harus didasarkan atas hukum.
Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa adanya ketertiban di dalam pembangunan merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan. Disampiang itu hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke dalam tujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut seyogyanya dilakukan disamping fungsi hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial.
Berdasarkan pendapat di atas, menurut penulis hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk menguba masyarakat dan perubahan itu ditujukan ke arah yang baru, berati hukum harus dibentuk terlebih dahulu dan haus memuat bentuk masyaakat dengan hukum yang akan diubah tersebut. Dengan demikian untuk melakukan perubahan itu maka bentuk masyarakat yang dicita-citakan atau yang diinginkan harus dirumuskan terlebih dahulu seta harus memenuhi unsur-unsur masyarakat yang dikehendaki. Jadi apabila akan membentuk masyarakat pancasila yang adil dan makmur, maka masyarakat pancasila yang adil dan makmur itu dirumuskan terlebih dahulu, dan hukum yang akan diberlakukan itu telah memuat rumusan masyarakat pancasila yang adil dan makmur.
Hukum di dalam masyarakat juga dapat di gunakan sebagai cermin perubahan, berubahnya masyarakat dapat dilihat bagaimana hukum melakukan perubahan terhadapnya. Dengan melihat sejarah bagaimana hukum di Indonesia cita hukum yang diperjuangkan dalam konteks Hukum Indonesia adalah cita Hukum Pancasila. Gerakan reformasi memang berhasil menjathkan rezim orde baru yang ternyata penuh korupsi, kolusi dan nepotisme, maka gema Pancasila pun nyaris lenyap. Hal ini dimungkinkan karena malu memiliki pemerintah yang selalu mendengungkan Pancasila namun pada kenyataannya justru melakukan KKN. Bangsa Indonesia dengan karakater masyarakatnya dalam politik hukumnya tentu harus memiliki konsep sistem hukum yang memiliki kekhasan Bangsa Indonesia dalam politik hukumnya agar sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia menganggap Pancasila sebagai cita hukum.
Sebagai konsekuensi dari supremasi konstitusi dan hierarki perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka perubahan konstitusi mengharuskan adanya perubahan terhadap perundang-undangan dalam sistem hukum tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang.
Bidang-bidang hukum yang memerlukan pemben­tuk­an dan pembaruan tersebut dapat dikelompokkan menurut bidang-bidang yang dibutuhkan, yaitu:
1.          Bidang politik dan pemerintahan.
2.          Bidang ekonomi dan dunia usaha.
3.          Bidang kesejahteraan sosial dan budaya.
4.          Bidang penataan sistem dan aparatur hukum
Perubahan-perubahan tersebut bukan hanya perubahan redaksional, melainkan menyangkut pula perubahan paradigma pemi­kiran yang sangat mendasar. Karena itu, segera setelah agenda constitutional reform (pembaruan konstitusi), kita perlu melanjutkan dengan agenda legal reform (pembentuk­an dan pem­baruan hukum) yang juga besar-besaran. Jika kita mencermati ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 setelah empat kali dirubah, terdapat 22 butir ketentuan yang menyatakan “diantur dengan undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dengan undang-undang”, 11 butir ketentuan yang menyatakan “diatur dalam undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dalam undang-undang”, dan 6 butir ketentuan menyatakan “ditetapkan dengan undang-undang.
Demikian pula halnya dengan perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan meliputi hampir keseluruhan ketentuan yang terdapat di dalamnya, harus diikuti dengan perubahan perundang-undangan yang berada di bawahnya dan pelaksanaannya oleh organ yang berwenang.[1]  
Demokrasi konstitusional ini sering juga disebut dengan demokrasi di bawah rule of law. Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah :
1.         perlindungan konstitusional;
2.         badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3.         pemilihan umum yang bebas;
4.         kebebasan untuk menyatakan pendapat;
5.         kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi; dan
6.         pendidikan kewarganegaraan.
Hal di atas berarti demokratis tidaknya suatu negara, ditentukan oleh tingkat kesempurnaan konstitusi atau aturan-aturan negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Begitu juga dengan tingkat jaminan perundang-undangan yang diberikan terhadap badan kehakiman sehingga tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, berorganisasi dan oposisi.


[1] Hukum dapat dikategorikan menjadi empat kelompok pengertian hukum dilihat dari wilayah pembuatan dan  pembentukan hukum, yaitu Hukum Negara (The State’s Law), Hukum Adat (The People’s Law), Doktrin (The Professor’s Law), dan hukum praktek (The Professional’s Law). Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar